Mengenal Berbagai Sastra Pertunjukan di Indonesia
Kekayaan sastra pertunjukan di negeri kita sangat beragam. Berbagai
jenis sastra pertunjukan yang pada akhirnya menjelma menjadi seni
pertunjukan, demikian inilah yang dipahami dan dikenal oleh masyarakat.
Sejatinya, sastra pertunjukan dengan seni pertunjukan itu sendiri
memiliki perbedaan yang tipis. Namun pada hakekatnya, keduanya tetap
memiliki fungsi dan tujuan yang sama yaitu mempertontonkan sesuatu
kepada khalayak. Perbedaanya, bila kita merujuk suatu pertunjukan itu
sebagai sastra pertunjukan, harus ada unsur tekstual didalamnya, baik
itu lisan maupun tulisan. Adapun yang disebut “teks” dalam sastra
pertunjukan adalah keutuhan dari apa yang disajikan, tidak harus berupa
naskah, skenario, atau sesuatu yang tertulis di atas kertas. Jadi,
kesatuan keseluruhan dari pertunjukan itu adalah “teks” yang akan kita
kaji dari segala aspeknya.
Kita mengenal beragam sastra pertunjukan di negeri kita ini. Ada yang
tradisi dan ada pula yang modern. Perkembangan keduanya pun memiliki
jalan yang berbeda pula. Sastra pertunjukan modern seperti teater,
pembacaan puisi, pementasan drama, banyak didominasi oleh pengaruh
pergerakan kaum muda. Sedangkan pertujukan modern seperti Ludruk,
Ketoprak, Wayang, lebih didominasi oleh generasi tua. Dalam bahasan ini,
kita kerucutkan pembahasan mengenai sastra pertunjukan tradisional.
Tumbuh kembang sastra pertunjukan tradisional memang terkesan lambat
berjalan. Beberapa diantaranya mampu bertahan hingga merangkul pada
generasi muda seperti Lenong (Jakarta), Ludruk (Jawa Timur),
Gelipang(Probolinggo), Wayang Kulit(Jawa Tengah), dan sebagainya. Para
penikmat dan peminat dari pertunjukan ini masih tergolong cukup banyak.
Disamping pertunjukannya yang memang memiliki ciri khas tersendiri,
sebagai prospek kerja juga cukup menjanjikan. Namun, sebagian lagi bisa
dikatakan sedang mengalami kondisi yang kritis.
Sekilas Mengenai Wayang Topeng Malang
- 1. Sejarah
Kesenian Wayang Topeng Malang tentunya tidak muncul begitu saja. Ada
tahap demi tahap yang terangkai sampai akhirnya terbentuklah kesenian
Wayang Topeng Malang seperti yang kita lihat saat ini. Sejarah Wayang
Topeng Malang tentunya tak bisa dilepaskan dari unsureunsur pendukung
yang ada di dalamnya yaitu, penggunaan topeng, kemunculannya hingga
terbentuklah sebuah sastra pertunjukan Wayang Topeng Malang, dan cerita
yang diangkat.
- a. Asal Mula Penggunaan Topeng
Topeng berkembang dari masa ke masa baik dari segi fungsi, karakter,
ataupun teknik pembuatannya. Yang kita kenal sekarang, topeng merupakan
salah satu atribut atau aksesoris yang sering dipakai oleh penari atau
digunakan oleh seoran aktor. Akan tetapi, bila merujuk pada sejarahnya,
sesungguhnya topeng pada mula keminculannya memiliki fungsi yang sakral.
“Dalam catatan sejarah, topeng telah dikenal semenjak zaman kerajaan
tertua di Jatim yaitu Kerajaan Gajayana (760 Masehi) yang berlokasi di
sekitar kota Malang. Tepatnya, kesenian ini telah muncul sejak zaman Mpu
Sendok. Saat itu, topeng pertama terbuat dari emas, dikenal dengan
istilah puspo sariro (bunga dari hati yang paling dalam) dan merupakan
simbol pemujaan Raja Gajayana terhadap arwah ayahandanya, Dewa Sima.”(
http://www.liputan6.com)
Betapa pentingnya keberadaan sebuah topeng pada masa itu. Bahan
pembuatannya yang berupa emas, serta pemberian istilah “puspo sariro”,
kiranya cukup menunjukkan betapa berharga nya keberadaan sebuah topeng
pada masa itu. Seiring perkembangan jaman, perlahan-lahan topeng pun
beralih fungsi menjadi kesenian tari, tepatnya pada masa Raja Erlangga
sebagaimana dikutip dari tulisan Paring Priyo Utomo dalam averroes.or.id
berikut ini.
“Wayang Topeng Malangan merupakan tradisi kultural dan religiusitas
masyarakat Jawa semenjak Kerajaan Kanjuruhan yang dipimpin oleh Raja
Gajayana semasa abad ke 8 M. Namun topeng masa itu dalam penuturan
Karimun (82 tahun) tidak diperuntukkan acara acara kesenian seperti
sekarang ini. Topeng waktu itu yang terbuat dari batu adalah bagian dari
acara persembahyangan. Barulah pada masa Raja Erlangga, topeng
dikontruksi menjadi kesenian tari. Topeng digunakan menari waktu itu
untuk mendukung fleksibilitas si penari. Sebab waktu itu sulit untuk
mendapatkan riasan (make up), untuk mempermudah riasan, maka para penari
tinggal mengenakan topeng di mukanya, ujar Karimun.” (Priyo Utomo.
averroes.or.id)
Dapat kita ketahui bahwa pengalihan fungsi topeng dari yang bersifat
religi ke dalam kesenian adalah karena belum adanya alat dan bahan untuk
make-up seperti yang digunakan oleh penari pada masa sekarang. Maka,
untuk kemudahan, dibuatlah topeng untuk menutup wajah si penari
tersebut. Hingga saat ini, penggunaan topeng oleh para penari masih
sering kita jumpai walaupun penggunaannya bukan lagi didasarkan
fleksibilitas penari. Tarian-tarian dengan menggunakan topeng, biasanya
menuntut penari agar bias membawakan karakter sesuai dengan karakter
topeng yang dipakai. Contohnya pada tari Topeng Bapang yang merupakan
topeng khas dari Malang. Tari Topeng Bapang diangkat dari tokoh dalam
wayang topeng Malang bernama Bapang Jaya Sentika yang berasal dari
Kerajaan Banjarsari(Sabrang). Penari harus mampu menggambarkan ksatria
yang gagah berani, tetapi mempunyai watak yang brangasan dan ugal-ugalan
sesuai dengan hidungnya yang panjang dan topengnya yang berwarna merah.
Topeng Malang
Topeng yang berkembang di Malang memiliki ciri khas tersendiri
dibanding topeng yang berasal dari daerah lain. Berikut ciri khas topeng
Malang (dikutip dengan beberapa perubahan dari Aneka Ragam Khasanah
Budaya Nusantara I Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1991 / 1992, hal
: 252).
- 1. Bentuk Hidung
Karakter topeng Malang salah satunya diwujudkan dalam bentuk hidung.
Bentuk hidung seperti pagot (pisau alat pengukir) kecil mencerminkan
watak lembut. Bila menyerupai pagot ukuran sedang atau menyerupai ujung
parang mencerminkan tokoh yang gagah berani. Sedang hidung pesek, kecil
menunjukan watak penuh pengabdian, biasanya untuk tokoh punakawan.
- 2. Bentuk Mata
Mata topeng berbentuk butir padi menunjukan tokoh jujur, sabar,
lembut, gesit, dan perwira. Berbentuk seperti biji kedelai menunjukan
tokoh perwira, tangkas, pemberang, gagah berani yang biasanya terdapat
pada tokoh satria. Bentuk mata yang mentheleng (membelalak) menunjukan
tokoh yang pantang mundur, gagah berani. Bila topeng bermata besar dan
melotot menunjukan watak gagah perkasa, keji, angkara murka, dan
sebagainya.
- 3. Bentuk Bibir atau Mulut
Bibir atau mulut juga meunjukan karakter tokoh – tokoh, antara lain
bibir tekatup menunjukan tokoh berwatak gagah berani, sedikit terbuka
menunjukan watak watak lembut dan luhur budi. Topeng berbibir terbuka
dengan deretan gigi menunjukan tokoh berwatak sok gagah, sok berani.
Mulut topeng terbuka lebar, gigi tampak, kadang – kadang bertaring
menunjukan watak galak yang angkara murka.
- 4. Warna Topeng
Warna juga dimaksudkan untuk mengambarkan karakter tokoh. Warna merah
menunjukan tokoh berwatak angkara, jahat, berani. Merah jambu
menggambarkan tokoh yang keras hati, warna biru tua menunjukan tokoh
dengan kekuatan magis, biru telur menunjukan tokoh baik hati, putih
menunjukan kesucian, dan hitam menggambarkan tokoh yang bijak dan teguh.
- b. Cerita yang diangkat
Karena wilayah Jawa waktu itu adalah area berkembangnya Agama Hindu
yang datang dari India, maka cerita cerita wayang, termasuk wayang
topeng juga mengambil cerita cerita dari India, seperti kisah kisah
Mahabarata dan Ramayana. A Barulah pada masa kekuasaan Kertanegara di
Singasari, wayang topeng ceritanya digantikan dengan cerita cerita
Panji. Hal ini dapat dipahami ketika Kertanagera waktu itu menginginkan
Singasari menjadi kekuasaan yang sangat besar ditanah Jawa. Panji yang
didalamnya mengisahkan kepahlawanan dan kebesaran kesatria kesatria
Jawa, terutama masa Jenggala dan Kediri merupakan usaha dari Singasari
untuk menandingi cerita versi wayang purwo yang mengisahkan cerita
cerita India. Perlu dicatat bahwa Sangasari adalah kekuasaan yang
mengembangkan semangat kolonialisasi, mereka bahkan mengembangkan
wilayah kekuasaannya hingga ke Kalimantan, dan Melayu. Cerita Panji
dimunculkan sebagai identitas kebesaran raja raja yang pernah berkuasa
ditanah Jawa. Cerita cerita Panji yang direkonstruksi oleh Singasari
adalah suatu kebutuhan untuk membangun legitimasi kekuasaan Singasari
yang mulai berkembang. Namun begitu, cerita panji dalam wayang topeng
memang menjadi berdebatan serius dikalangan ahli sejarah. Sebagian
kalangan sejarawan, diantaranya Habib Mustopo, Guru Besar Universitas
Negeri Malang mensinyalir bahwa cerita panji hanya mitos yang dibuat
untuk menandingi dominasi wayang purwo, sebab dalam sumber sumber
sejarah resmi yang ada di candi atau berbagai dokumen sejarah tidak
diketemukan adanya cerita panji. Cerita Panji dalam hal ini meniru kisah
kisah kesaktian Ken Arok untuk membangun legitimasi kekuasaannya.
- 2. Unsur Pendukung dan Struktur Pertunjukan
Dalam penyajiannya pertunjukan wayang topeng didukung oleh :
1. Ki dalang
Merupakan unsur utama yang menentukan keberhasilan pertunjukan.
Tugas dalang adalah sebagai berikut :
Ø menyampaikan cerita atau lakon baik melalui tembang maupun kata- kata ( narasi )
Ø melakukan dialog antara tokoh satu dengan tokoh yang lain
Ø pengatur irama gending dan irama tari
2. Anak wayang
Adalah para aktor yang
memerankan tokoh dalam cerita / lakon. Anak wayang merupakan 1 (satu)
tim yang dituntut untuk mahir menari topeng. Dalam setiap lakon , tokoh
yang diperankan antara 30 – 35 tokoh, namun jumlah anak wayang cukup 15 –
20 orang saja, karena diantara mereka ada yang memerankan lebih dari 1
tokoh.
3. Panjak
Adalah
pemukul gamelan yang mengiringi pergelaran wayang topeng. Pada
perkembangannya panjak disebut juga dengan niyaga / wiyaga, pengrawit/
pradangga, sedangkan di Sunda disebut nayaga. Panjak harus menguasai
gending-gending Malangan. Jumlah panjak pada pergelaran wayang topeng
antara 10 – 15 orang.
4. Punakawan
Punakawan artinya sahabat
/ teman yang mempunyai sifat arif / bijaksana. Kedudukannya sebagai
abdi, yang mengabdi pada satria yang membela kebenaran. Pada wayang
topeng punakawan yang ditampilkan adalah Semar dan Bagong yang mengabdi
pada Raden Panji Asmara Bangun. Selain dua punakawan tadi ada juga
punakawan yang bernama Patrajaya yang mengabdi pada Raden Gunung Sari.
Struktur Pertunjukan
Konsep pemanggungan / pementasan Wayang Topeng Malang adalah sebagai berikut :
- Musik Pembukaan
- Tari Pembukaan ( beskalan atau Srimpi )
- Adegan Kerajaan Jawa ( Kediri, Jenggala, Singasari dan Urawan )
- Grebeg Jawa ( Prajurit dalam perjalanan )
- Adegan Kerajaan Sabrang ( Cemara Sewu, Rencang Kencana dll. )
- Grebeg Sabrang
- Perang Grebeg / Perang Gagal
- Adegan Kerajaan ketiga atau Pertapaan
- Gunung Sari dan Patrajaya
- Adegan Kerajaan Jawa
- Adegan Kerajaan Sabrang dilanjutkan Peperangan Besar
Penutup
- 3. Perkembangan
Penjelasan sebelumnya tentang kemunculan Wayang Topeng Malang di
atas, telah mengantarkan kita untuk mengetahui awal kemunculan dari
topeng. Sedangkan penggunaan topeng dalam pertunjukan wayang sendiri
sebenarnya juga berkembang. Mengingat kemunculan topeng berasal dari
kerajaan Gajayana yang terletak di sekitar Malang, dan juga wilayahnya
yang berelief pegunungan. Seperti apa kaitannya, dijelaskan dalam
kutipan di bawah ini.
“Wayang topeng Malang adalah sebuah kesenian kuno yang usianya lebih
tua dari keberadaan Kota Apel ini. Itulah sebabnya, kesenian ini tak
dapat dipisahkan dari perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa
Timur. Kesenian ini kemudian terus berkembang pesat saat zaman Kerajaan
Majapahit serta masa penyebaran Islam oleh para wali. Tak heran,
beberapa dekade kemudian wayang topeng berkembang menjadi kesenian yang
sangat populer di Malang. Bahkan, wayang topeng menjadi sebuah kesenian
yang identik dengan Kota Malang. Kalau kita membaca sejarah, topeng
selalu berkembang didaerah perkebunan. Pada masa kolonial, daerah daerah
perkebunan oleh mandor mandor belanda didirikan kembali kelompok
kelompok topeng. Kenapa? Sebab daerah perkebunan adalah daerah daerah
yang tingkat ekonominya sangat rendah dan kurang hiburan. Kita dapat
lihat sekarang pusat pusat perkembangan wayang topeng itu seperti di;
Kromengan, Pakisaji, Tumpang, adalah daerah daerah perkebunan kopi waktu
itu.”(
www.liputan6.com)
Selain faktor sejarah topeng dan bentuk
wilayah, perkembangan Topeng Wayang yang bertahan dan identik dengan
kota Malang ini juga dipengaruhi oleh pengangkatan cerita seperti yang
dipaparkan pada poin (
c) diatas. Cerita Panji diangkat
dari kerajaan-kerajaan yang berkembang di sekitar Malang yaitu kerajaan
Kediri, Jenggala, dan Singasari. Wayang topeng, dalam cerita panji
memang sangat kental tentang perlawanan orang orang Jawa terhadap
kekuatan asing yang hendak mencaplok tanah Jawa.
Degradasi Seni Asli Kota Malang
Selain terkenal dengan hawa udaranya yang sejuk, kota Malang juga
dikenal memiliki beberapa kesenian dan pertunjukan yang khas,
diantaranya Tari Beskalan, Tari Topeng Bapang, Wayang Topeng Malang, dan
sebagainya. Namun, meski keberadaannya sudah cukup lama di tengah
masyarakat kota Malang, gaung nya tak semeriah kesenian lain, misalnya
Jaran Kepang atau Ludruk. Bahkan tak jarang, ada penduduk Malang sendiri
yang tidak mengetahui keberadaan kesenian khas dari wilayahnya
Perkembangan kesenian di kota Malang memang tidak seperti di kota
lain, misalnya Surabaya. Bahkan, bias dikatakan kesenian kota Malang
kini sdang mengalami keterpurukan atau degradasi. Ditandai dengan sangat
minimnya generasi muda kita yang mengenal dan mampu melesetarikan
kesenian tersebut. Wayang Topeng Malang, menjadi salah satu kesenian
yang keberadaannya sangat memprihatinkan. Kita, dan masyarakat pada
umunya, tentu akan lebih mengenal Wayang Kulit atau Wayang Golek. Sangat
sedikit masyarakat yang tahu mengenai seni pertunjukan ini. Para pelaku
seni nya pun, didominasi oleh mereka yang sudah “berumur”. Sulit
ditemui generasi mda yang mampu menguasai kesenian ini. Kekhawatiran
akan musnahnya Wayang Topeng Malang pun muncul mengingat kondisi yang
sedemikian rupanya. Aset Malang yang sangat berharga ini tentu akan
sangat disayangkan jika harus musnah karena tidak adanya generasi
penerus.
Faktor-faktor Penyebab Keterpurukan Wayang Topeng Malang
Keadaan kesenian Wayang Topeng Malang yang kini mengalami
keterpurukan tidak lepas dari faktor-faktor penyebab, baik yang
bersifat intern maupun ekstern. Faktor-faktor tersebut diuraikan di
bawah ini.
- Faktor Intern
Faktor intern adalah faktor yang menyebabkan terpuruknya Sastra
Pertunjukan Wayang Topeng Malang, ditinjau dari keutuhan dari dalam
kesenian tersebut, diantaranya penggunaan atribut topeng, pengangkatan
cerita Panji, nama dan karakter tokoh, tingkat kesulitan, permainan
adegan, dan pemahaman karakter tokoh.
- 1. Penggunaan atribut topeng
Topeng Malang memiliki ciri khas tersendiri bila dibandingkan dengan
topeng dari wilayah lain. Di satu sisi, penggunaan topeng merupakan
seuatu yang unik dan mengundang perhatian, sebab, untuk memainkan topeng
dengan karakter yang tepat bukanlah perkara mudah. Peraga hanya
mengandalkan gerakan anggota tubuh untuk mengekspresikan sesuatu.
Ekspresi wajah topeng yang bersifat statis inilah yang bisa membuat para
penontonnya jenuh. Bagaimanapun kondisinya, bentuk topeng juga tetap
akan seperti itu. Marah, sedih, gundah, gelisah, bahagia, kasmaran,
tetap ekspresi topeng tidak akan berubah.
- 2. Pengangkatan cerita panji
Tidak seperti cerita Ramayana dan Mahabarata yang sudah dikenal dan
diketahui banyak orang, cerita panji yang diangkat dalam pertunjukan ini
tidak cukup banyak yang mengetahuinya. Hal ini memungkinkan penonton
menjadi bingung dan tidak mengerti tentang cerita yang dimainkan oleh
dalang.
- 3. Nama dan karakter tokoh
Minimnya pengetahuan mengenai cerita yang diangkat, tentunya
berpengaruh pula pada pemahaman tokoh yang ada di dalamnya. Topeng ini
memerankan tokoh siapa, banyak yang masih belum mengerti.
- Tingkat Kesulitan
Kita tentu ingat kepada Mbah Karimoen(Almarhum), yang begitu lihai
memerankan tokoh-tokoh dalam wayang topeng Malang. Namun, agaknya sampai
saat ini kita masih belum bisa menemukan orang yang bias dan mampu
menandingi kelihaian beliau. Hal ini membuktikan, betapa sulitnya untuk
bisa memerankan tokoh dalam Wayang Topeng Malang ini. Kekuatan gerak
anggota tubuh menjadi kunci utama untuk menggantikan mimic dan ekspresi
wajah yang tertutup oleh topeng. Tentu, hal ini menjadikan orang akan
pikir-pikir dulu untuk mempelajari kesenian ini.
- Pemahaman Karakter Tokoh
Berkaitan dengan pemilihan cerita Panji dalam adegan dan ceritanya,
tentu akan berpengaruh pula pada pemahaman karakter tokoh. Bila
dibandingkan dengan cerita wayang biasa yang mengangkat cerita Ramayana
atau Mahabarata, tentu pamor dari cerita Panji ini jauh tertinggal.
Mungkin orang akan lebih paham dan mengerti tentang karakter tokoh Bima
atau Werkudara(salah satu tokoh Pandawa-Mahabarata) yang terkenal gagah,
brangasan, dan sedikit emosional. Sebaliknya, orang akan bertanya-tanya
dan mungkin bahkan tidak tahu tentang karakter Bapang Jaya
Sentika(salah satu tokoh cerita Panji Malangan).
- Faktor Ekstern
Faktor intern adalah faktor yang menyebabkan terpuruknya Sastra
Pertunjukan Wayang Topeng Malang, ditinjau dari keutuhan dari luar
kesenian tersebut, diantaranya minimnya regenerasi, egoisme seniman,
kurangnya perhatian pemerintah, kurang profit sebagai prospek kerja, dan
minimnya animo masyarakat.
- 1. Minim regenerasi
Sampai saat ini, Wayang Topeng Malang masih didominasi oleh para
seniman yang sudah “berumur”. Jarang sekali dijumpai adanya peminat
kesenian ini dari kawula muda. Hal ini tentu sangat disayangkan.
- 2. Egoisme kaum seniman Malang
Beberapa pengamat kesenian dan pertunjukan menilai, bahwa bebrapa
seniman di Malang memiliki egoisme yang tinggi. Antar Nusa, salah satu
pengamat seni pertunjukan yang juga merupakan seorang guru seni
mengungkapkan, kesenian di Malang tertinggal jauh dibandingkan kesenian
dari daerah lain. Contohnya, apabila seorang seniman Malang membuat
sebuah karya seni maka ia hanya akan mengajarkannya pada kalangan
tertentu saja. Mereka terlalu idealis dengan apa yang mereka ciptakan.
Mungkin bisa dikatakan, para seniman Malang ini “pelit” untuk membagi
ilmu. Apa yang mereka punyai hanya diajarkan sebatas lingkungan mereka
saja. Maka, tak mengherankan jika perkembangan kesenian di Malang hanya
nampak pada daerah-daerah tertentu saja, tidak merata di semua wilayah.
Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Surabaya. Apabila ada yang
menciptakan suatu karya seni, misalnya saja tari, mereka langsung
merekam dalam bentuk kaset, melakukan workshop, dan menyebarknnya ke
sanggar kesenian tanpa pandang bulu. Maka kesenian di kota Surabaya
berkembang milau dari kalangan anak-anak sampai dewasa, dan juga rata di
hampir semua wilayah.
- 3. Besarnya anggaran dana
Untuk mementaskan sebuah karya pertunjukan, memang diperlukan dana
yang tidak sedikit. Pertunjukan semacan ini sudah dikenal “mahal” karena
biaya sewa kosrumnya yang mahal. Belum lagi biaya yang lain-lain. Hal
ini juga terjadi pada Wayang Topeng Malang. Sesungguhnya, hal ini tak
akan terasa berat apabila bersama-sama dipikul bersama pemerintah
sebagai aparatur. Namun pertanyaannya, apakah pemerintah Malang sendiri
menaruh perhatian pada Waang Topeng Malang? Jawabnya: masih diragukan.